SEJARAH RUMAH LIMAS PALEMBANG
Pada tempo dulu kehidupan masyarakat Palembang sehari-hari sangat bergantung pada sungai, baik digunakan sebagai sarana transportasi maupun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Keberadaan rumah limas sangat berkaitan erat dengan posisi matahari dan sungai. Selain berbentuk limas, rumah ini juga memiliki lantai atau teras bertingkat-tingkat yang disebut dengan istilah bengkilas. Papan tebal yang memisahkan antara bengkilas dengan lantai lainnya yang dibuat dari satu papan lurus dan tidak boleh disambung dikenal dengan sebutan keekeejeeng
Rumah limas sangat luas, ukuran rumah limas sekitar 400 hingga 1.000 m2. Selain di daerah Sumsel, rumah limas juga ditemukan di negara Malaysia, khususnya di daerah Johor, Selangor dan Terengganu. Kebanyakan rumah limas Johor memiliki kolong, yaitu bagian bawah rumah yang berpagar. Fungsi kolong ini adalah untuk tempat menyimpan barang-barang. Rumah limas berkolong biasanya disebut rumah “baju kurung”. Sementara itu, kolong rumah limas di daerah Sumsel merupakan ruang yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari, mulai dari tempat berkumpul bersama keluarga atau tetangga hingga aktivitas lainnya.
Ilustrasi rumah limas.
Bahan material rumah limas ini, mulai dari dinding, lantai, hingga pintu menggunakan kayu tembesu (Fagraea fragrans), tanaman yang memang banyak tumbuh di Sumsel. Ada rumah limas yang memiliki dua lapis dinding dengan ukuran lebar 30 x 12 meter. Selain itu, penggunaan kayu tembesu berfungsi supaya dinding-dinding dapat bertahan lama, terutama jenis kayu ini dapat bertahan dari serangan rayap, baik bagian luar maupun bagian dalam.
Kayu-kayu rumah limas diatur sedemikian rupa agar terkunci atau tidak bergerak tanpa menggunakan paku dan hanya dengan kayu pasak. Untuk rangka rumah digunakan jenis kayu seru (Schima wallichii), kayu yang cukup langka dan sengaja tidak digunakan untuk bagian bawah rumah limas karena kayu seru dalam budaya masyarakat Sumsel dilarang untuk diinjak atau dilangkahi. Untuk tiang rumah pada umumnya menggunakan jenis kayu unglen atau ulin (Eusideroxylon zwageri) yang tahan terhadap air.
Selain berbentuk limas, rumah tradisional Sumsel juga tampak seperti rumah panggung dengan tiang-tiang yang tingginya mencapai 3 meter yang dipancang hingga ke dalam tanah. Untuk naik ke rumah limas dibuatkan tangga kayu dari sebelah kiri dan kanan. Setiap rumah, terutama dinding dan pintu diberi ornamen ukiran khas Palembang sepanjang 12 meter (satu batang kayu) yang berlapis emas.
Di bagian atas atap terdapat ornamen simbar atau tanduk. Simbar dengan hiasan Melati melambangkan mahkota yang bermakna kerukunan dan keagungan rumah adat ini. Tanduk yang menghiasi atap juga bermakna tertentu sesuai dengan jumlahnya. Rumah limas dirancang dan dibuat sesuai dengan kondisi geografis lingkungan Sumsel yang kebanyakan berada di daerah perairan tawar, baik itu di rawa maupun sungai.
Secara umum rumah limas ini mirip dengan rumah panggung yang dibangun oleh masyarakat Sumsel di daerah kawasan perairan. Antara rumah panggung dan rumah limas sama-sama berbentuk limas, memiliki tiang tinggi dan dibangun dengan ukuran besar yang memiliki banyak ruangan. Selain sebagai tempat tinggal, rumah juga sebagai tempat terjadi proses pembentukan watak dan kepribadian para penghuninya.
Di antara kedua jenis rumah tersebut yang menjadi pembeda adalah bahwa rumah panggung tidak memiliki bengkilas. Rumah yang tidak memiliki tingkatan ini sering disebut dengan istilah “rumah ulu”, sedangkan rumah limas dijumpai hingga 3-4 tingkatan yang memiliki simbol tertentu. Interior rumah limas sangat menarik, di dalamnya memiliki tingkatan yang memiliki filosofi budaya tersendiri yang mampu menampung hingga 400 orang saat diadakan acara tertentu seperti hajatan. Ruangan bagian depan digunakan untuk tempat bagi tamu laki-laki, sedangkan yang di belakang bagi tamu perempuan.
Bagaimana perbandingan antara rumah limas yang ada di pesisir Jawa dengan rumah limas yang terdapat di Palembang? Perbedaannya terletak pada aspek lantai dan konstruksi bangunan. Rumah limas Palembang memiliki lantai yang bertingkat-tingkat, pembagian ruang, bentuk pintu dan bubungannya yang tidak dimiliki rumah limas di pesisir Jawa. Tingkatan atau bengkilas sebagai simbol atas lima jenjang kehidupan bermasyarakat, yaitu usia, jenis, bakat, pangkat dan martabat. Detail setiap tingkatnya pun berbeda-beda.
Bengkilas pertama yang disebut pagar tenggalong, ruangannya berupa beranda yang tidak memiliki dinding pembatas, biasanya berfungsi sebagai ruang santai, ruang tunggu, dan tempat menerima tamu (saat acara adat) yang disebut dengan Pamarekan. Bagian depan tampak sebuah pintu yang disebut Lawang Kereng yaitu jalan masuk ke ruang dalam. Pintu tersebut dapat diangkat (disebut pintu kipas atau lawang ciam), terbagi-bagi seperti jendela yang dibagi-bagi oleh 9 tiang berukuran 20 meter. Untuk hari-hari biasa pada dinding terdapat satu pintu berukuran normal disebut lawang burotan. Dinding ruangan dihiasi dengan ukiran bermotif flora yang berwarna keemasan (menggunakan timah dan emas di bagian ukiran) dan lampu-lampu gantung antik sebagai aksesori. Ruang ini sekaligus menjadi “ruang pamer” untuk menunjukkan kemakmuran pemilik rumah.
Bengkilas kedua disebut Jogan, biasanya digunakan sebagai tempat berkumpul khusus untuk para pria. Ruangan ini mempunyai dinding lengkap akan tetapi ada pula yang hanya mempunyai dinding dua bagian yaitu bagian belakang dan bagian samping. Jogan yang mempunyai dua bagian berfungsi sebagai kamar tidur keluarga (anak laki-laki) dan sebagai kamar tidur tamu. Jogan terletak pada bagian serambi depan, di sisi kanan dan kiri.
Bengkilas ketiga, posisi lantainya lebih tinggi dan diberi batas dengan menggunakan penyekat. Bengkilas ketiga biasanya digunakan untuk tempat menerima para undangan dalam suatu acara atau hajatan, khususnya menyambut handai taulan yang sudah separuh baya.
Bengkilas keempat, posisi lantainya lebih tinggi lagi. Bengkilas keempat biasanya digunakan untuk tempat menerima para undangan yang memiliki hubungan kekerabatan lebih dekat dan dihormati, seperti undangan yang lebih tua, dapunto dan datuk.
Bengkilas kelima yang memiliki ukuran terluas disebut gegajah. Di dalamnya terdapat ruang pangkeng, amben tetuo, dan dan amben keluarga. Amben adalah balai musyawarah. Amben tetuo sendiri digunakan sebagai tempat tuan rumah menerima tamu kehormatan serta juga menjadi tempat pelaminan pengantin dalam acara perkawinan.
Dibandingkan dengan ruang lainnya, gegajah adalah yang paling istimewa sebab memiliki kedudukan privasi yang sangat tinggi. Di hadapan amben terdapat beeleek jeroo yang digunakan sebagai kamar tidur. Beeleek jeroo ini juga digunakan sebagai kamar tidur untuk pengantin. Ruangan dilengkapi dengan berbagai hiasan sebagai pelengkap upacara yang disebut pleeseer, yang dipasangkan pada bagian atas dinding sebelah dalam amben. Di bawah ruangan amben digantungkan gegembong dalam jumlah banyak. Pada dinding sebelah dalam dipasangkan langsee, yaitu lembar kain panjang dan lebarnya dengan motif bunga atau daun. Beberapa lembar langsee tersebut dipergunakan sebagai beber yang diletakkan pada sekeliling tempat tidur pengantin.
Pada bagian belakang amben dan bersebelahan dengan garang terdapat pangkeeng yaitu kamar tidur yang lebih kecil ukurannya dari beeleek jeroo yang dipergunakan sebagai kamar tidur remaja putri. Garang atau ruang makan juga berfungsi sebagai dapur. Panjang dapur umumnya sama dengan lebar rumah, lantainya lebih rendah sekitar 30-40 cm.
Ruangan dalam teratas bengkilas disebut Pedalon yang ditopang oleh tiang-tiang mulai dari atap terus sampai ke tanah. Tiang-tiang tersebut tidak boleh disambung karena merupakan tempat utama berlangsungnya upacara adat. Pada dinding pedalon kiri dan kanan dilengkapi dengan lemari yang disebut gerobok leket atau gerobok senyawo. Lemari tersebut pada bagian atas atau dari tas sampai ke bawah diberi kaca tembus pandang. Pada bagian bawah diberi ukiran berwarna perado (kuning emas). Melalui pintu belakang ruangan, pedalon sebuah rumah limas akan ditemukan bangunan belakang (buri) yang disebut garang.
Pada serambi belakang rumah limas melewati pintu garang, terdapat sebuah jembatan yang berfungsi sebagai penghubung antara rumah limas yang satu ke rumah limas yang lain. Jembatan ini terdapat atap dan railing di sisi kanan dan kiri, jembatan ini dinamakan doorloop. Satu hal yang tidak ditemukan adalah kamar mandi, karena pada masa lalu masyarakat umumnya memanfaatkan sungai sebagai sarana mandi, cuci dan kakus.
Dalam kebudayaan asli masyarakat Palembang, dikenal tiga jenis kedudukan seseorang berdasarkan garis keturunannya, yaitu Kiagus (Kgs), Kemas (Kms) dan atau Masagus (Msg), serta Raden (Rd). Tingkatan yang terendah adalah tempat berkumpulnya masyarakat Palembang dari garis keturunan Kgs, tingkatan kedua tempat berkumpulnya masyarakat Palembang dari garis keturunan Kms dan atau Mgs dan tingkatan yang ketiga, tempat kumpulnya masyarakat Palembang dari garis keturunan golongan tertinggi yaitu kaum Rd.
Di balik eksotisnya rumah limas yang usianya sampai ratusan tahun yang masih didiami oleh penduduk, saat ini pembangunan rumah limas Sumsel sudah jarang dilakukan, karena membangun rumah limas membutuhkan lahan yang luas dan biaya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan membangun rumah tempat tinggal konvensional seperti sekarang ini. Sepertinya saat ini keberadaan rumah limas semakin tergerus zaman. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk melestarikannya. Selain menyelamatkan rumah limas yang masih ada dan berumur ratusan tahun, ada usaha, baik pemerintah atau masyarakat yang peduli dengan rumah tradisional Sumsel untuk membangun rumah limas baru yang ornamennya dibuat mirip, mulai dari bentuk rumah, perabot, dan ukirannya.
Berdasarkan penelitian, rumah limas merupakan bentuk arsitektur tradisional yang terkenal karena corak, bentuk, dan kepadatan seni ukir pada rumah dan kemegahannya. Selain itu, keunikan dan kekhasan dari berbagai bentuk ornamen hiasan rumah limas tidak dimiliki oleh rumah tradisional lainnya. Ciri khas bentuk ornamen rumah limas terlihat dari atapnya yang berbentuk piramida menurun curam, dihiasi simbar-simbar, dan diberi tambahan bunga melati. Bentuk atap tersebut melambangkan keagungan dan pengayoman adab sopan santun. Semua ornamen rumah limas menggambarkan kehidupan atau tatanan tata krama dari masyarakat Palembang.
Selain jembatan Ampera, rumah limas (biasa juga disebut rumah bari yang berarti lama atau kuno) merupakan salah satu ikon khas Sumsel dan dapat dijadikan destinasi wisata, khususnya wisata yang berhubungan dengan warisan budaya setempat (heritage). Dahulunya Palembang sempat dijuluki sebagai Venice of the East (Venesia dari Timur) karena di Palembang terdapat ratusan anak sungai yang mengelilingi wilayah daratannya. Seiring berjalannya waktu, lingkungan perairan sungai dan rawa semakin menyempit, akhirnya rumah-rumah limas yang tadinya berdiri bebas di tengah rawa atau di atas sungai akhirnya dikepung perkampungan.
Sumber : http://majalah1000guru.net