Dimulai pada masa Dinasti Táng 唐 (618-707 Masehi)
terdapat sebuah cerita mengenai Ratu Shang yang berkembang di dalam masyarakat Cina. Ratu Shang merupakan seorang wanita yang memiliki kaki yang mungil sejak lahir dan terobsesi menjadikan kaki mungilnya sebagai trend kecantikan pada masa itu, sehingga Ratu Shang memerintahkan seluruh wanita di negeri Cina untuk memiliki kaki seperti dirinya.
Pada masa pemerintahan Kaisar Liyu di Dinasti Sòng 宋 (961-975), ia memerintahkan seorang selir kesayangannya Yao Niang, yang merupakan seorang penari yang sangat berbakat untuk membebat kakinya dengan selendang sutera dan menarikan tarian "Teratai Emas" pada malam bulan purnama di panggung berbentuk Teratai yang berhiaskan mutiara dan permata. Yao Niang menarikan tarian itu dengan sangat mengagumkan. Semua wanita di dalam istana terkesima dan menjadikan pembebatan kaki itu sebagai trend di kalangan mereka. Begitulah awalnya pembebatan kaki ini lebih dikenal dengan sebutan "Teratai Emas". Namun tidak hanya bagi kalangan wanita bangsawan, trend ini pun menyebar pada masyarakat kelas menengah dan kelas bawah.
Cerita itu kemudian menyebar ke seluruh masyarakat Cina. Mereka beranggapan bahwa wanita yang berkaki mungil ketika berjalan terlihat bagaikan melayang, lebih anggun, dan menarik, sehingga hal itu menimbulkan efek erotis pada kaum pria. Para orang tua di Cina pada masa itu kemudian melakukan ritual pembebatan kaki (foot binding; 缠足 chánzú) pada anak perempuannya.
Ritual pembebatan kaki itu bertujuan untuk memperoleh kaki yang mungil dengan bentuk sempurna seperti bunga teratai. Ritual di mulai ketika anak perempuan berusia 4 sampai 7 tahun. Kaki mereka dibebat pada usia yang begitu muda karena pada usia 4 sampai 7 tahun tulang-tulang kaki anak belum terbentuk dengan sempurna, sehingga diasumsikan pada usia tersebut tulang kaki anak lebih mudah untuk dibentuk. Tidak hanya itu, jika diperlukan, tindakan memotong ibu jari kaki juga dilakukan untuk memudahkan pergerakan sang gadis. Tindakan tersebut tentunya sering mengakibatkan infeksi yang disebabkan oleh kuku jari kaki yang terus tumbuh ke arah dalam.
Prosesinya diawali dengan merendam kaki si gadis di dalam darah binatang yang dicampur dengan ramuan herbal. Kemudian, kaki gadis tersebut diberi pijatan-pijatan untuk melemaskan otot-otot di kakinya. Dilanjutkan dengan menekuk jari-jari kaki si gadis ke bagian bawah. Dalam prakteknya, terdapat variasi dalam tahap ini. Beberapa suku di Cina mematahkan tulang jari kaki untuk dapat melipatnya dengan sempurna, sedangkan yang lainnya hanya melipat jari-jari kaki saja. Pada tahapan ini, si gadis akan merasakan kesakitan yang teramat sangat. Mereka menangis dan berteriak mendapatkan perlakuan tersebut. Setelah jari-jari kaki si gadis ditekuk, kemudian dilanjutkan dengan membebat kakinya dengan selendang panjang.
Bebatan pada kaki tersebut dibersihkan dan diperiksa sehari sekali untuk orang kaya dan seminggu dua atau tiga kali untuk orang miskin. Setiap hari, semakin kuat dan erat bebatan pada kaki-kaki gadis itu hingga mendapatkan ukuran yang sempurna sesuai sepatu yang telah disiapkan, yaitu berukuran sekitar 4 inci.
Dalam proses pembebatan kaki ini, kaki anak perempuan dilipat menyerupai bentuk lipatan-lipatan di dalam vagina. Masyarakat Cina percaya bahwa semakin kecil kaki wanita, semakin besar gairah seksualnya. Konon, lipatan-lipatan kaki yang menyerupai lipatan-lipatan di dalam vagina tersebut membuat hubungan seksual menjadi luar biasa nikmat dan bergairah.
Mula-mula tradisi wanita berkaki mungil ini hanya berlaku bagi kalangan bangsawan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu tradisi tersebut menyebar ke seluruh lapisan masyarakat Cina, dari kaum menengah hingga kaum petani. Bahkan bentuk kaki wanita yang mungil menjadi semacam trend kecantikan di Cina.
Dalam perjodohan, ukuran kaki seorang wanita juga menentukan jodoh yang akan dia peroleh. "Mak Comblang" sebagai perantara (orang kepercayaan ibu calon mempelai pria) akan meminta bāzi (八字), yaitu tanggal, bulan, tahun, dan jam kelahiran calon mempelai wanita serta ukuran kaki calon mempelai wanita untuk didata dan dicocokkan dengan bāzi calon mempelai pria. Kaki yang tidak dibebat dengan baik mencerminkan kemalasan dan sulit untuk mendapatkan jodoh. Oleh karena itu, para orang tua rela mengorbankan puterinya untuk menahan penderitaan dan rasa sakit yang teramat hebat untuk melakukan pembebatan kaki ini.
Ada tiga ukuran kaki yang diperkenankan dalam perjodohan di Cina pada masa itu. Kaki dengan ukuran panjang 7,5 sentimeter disebut "Teratai Emas". Ukuran kaki dengan panjang 10 sentimeter disebut "Teratai Perak", dan ukuran panjang yang lebih dari 10 sentimeter disebut "Teratai Besi". Dari ketiga patokan ukuran kaki wanita Cina yang dibebat, Teratai Emas merupakan panjang yang paling ideal.
Tradisi pembebatan kaki ini tentu saja tidak serta merta diperoleh dengan mudah. Bantuk kaki yang sempurna dengan ukuran ideal tersebut harus ditebus dengan penderitaan panjang yang dialami oleh wanita yang memilikinya. Sejak balita, anak perempuan dipaksa menerima rasa sakit yang luar biasa. Banyak di antara mereka yang terpaksa merangkak bahkan tidak mampu berjalan selama beberapa waktu karena menahan rasa sakit dan pedih di kakinya. Walaupun lama-kelamaan rasa sakit itu akan mulai hilang dan tak dirasakan lagi seiring bertambahnya usia sang gadis.
Sebagian besar gadis dengan kaki yang dibebat tidak dapat bergerak bebas seperti gadis yang kakinya tidak dibebat. Mereka tidak dapat berjalan dengan cepat, apalagi berlari. Bahkan untuk melakukan kegiatan sehari-hari mereka akan mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan dari para pelayan. Diskriminasi pun dialami oleh para wanita yang dibebat kakinya, karena mereka tidak dapat turut serta dalam kegiatan politik dan sosial. Mereka hanya dapat terkungkung di dalam rumah dengan otoritas tertinggi ada di tangan suami mereka.
Wanita bangsa Manchu tidak melakukan pembebatan kaki sebagaimana yang berkembang pada suku bangsa lain. Mereka menggunakan sepatu yang didesain memiliki hak yang tinggi di bagian alasnya yang terbuat dari kayu. Hal tersebut memungkinkan mereka dapat menyamai gaya berjalan wanita suku bangsa lainnya yang anggun dengan ukuran sepatu yang sesuai tanpa merasakan penderitaan seperti yang dialami oleh kaum wanita Cina dengan kaki dibebat dan ukuran sepatu yang terlampau kecil.
Pada tahun 1645, Kaisar Shunzhi melarang praktek pembebatan kaki ini. Namun, pada pemerintahan selanjutnya oleh Kaisar Kangxi pelarangan tersebut dicabut dan kembali merebak di masyarakat. Pemerintah Cina secara resmi melarang pembebatan kaki pada tahun 1911 melalui edukasi yang diberikan kepada wanita-wanita Cina pada masa itu. Hingga pada masa Republik, tradisi ini masih sering ditemukan pada masayarakat di daerah-daerah terpencil, seperti salah satunya Desa Liuyi di Provinsi Yunnan, sampai tahun 1930-an.
terdapat sebuah cerita mengenai Ratu Shang yang berkembang di dalam masyarakat Cina. Ratu Shang merupakan seorang wanita yang memiliki kaki yang mungil sejak lahir dan terobsesi menjadikan kaki mungilnya sebagai trend kecantikan pada masa itu, sehingga Ratu Shang memerintahkan seluruh wanita di negeri Cina untuk memiliki kaki seperti dirinya.
Pada masa pemerintahan Kaisar Liyu di Dinasti Sòng 宋 (961-975), ia memerintahkan seorang selir kesayangannya Yao Niang, yang merupakan seorang penari yang sangat berbakat untuk membebat kakinya dengan selendang sutera dan menarikan tarian "Teratai Emas" pada malam bulan purnama di panggung berbentuk Teratai yang berhiaskan mutiara dan permata. Yao Niang menarikan tarian itu dengan sangat mengagumkan. Semua wanita di dalam istana terkesima dan menjadikan pembebatan kaki itu sebagai trend di kalangan mereka. Begitulah awalnya pembebatan kaki ini lebih dikenal dengan sebutan "Teratai Emas". Namun tidak hanya bagi kalangan wanita bangsawan, trend ini pun menyebar pada masyarakat kelas menengah dan kelas bawah.
Cerita itu kemudian menyebar ke seluruh masyarakat Cina. Mereka beranggapan bahwa wanita yang berkaki mungil ketika berjalan terlihat bagaikan melayang, lebih anggun, dan menarik, sehingga hal itu menimbulkan efek erotis pada kaum pria. Para orang tua di Cina pada masa itu kemudian melakukan ritual pembebatan kaki (foot binding; 缠足 chánzú) pada anak perempuannya.
Ritual pembebatan kaki itu bertujuan untuk memperoleh kaki yang mungil dengan bentuk sempurna seperti bunga teratai. Ritual di mulai ketika anak perempuan berusia 4 sampai 7 tahun. Kaki mereka dibebat pada usia yang begitu muda karena pada usia 4 sampai 7 tahun tulang-tulang kaki anak belum terbentuk dengan sempurna, sehingga diasumsikan pada usia tersebut tulang kaki anak lebih mudah untuk dibentuk. Tidak hanya itu, jika diperlukan, tindakan memotong ibu jari kaki juga dilakukan untuk memudahkan pergerakan sang gadis. Tindakan tersebut tentunya sering mengakibatkan infeksi yang disebabkan oleh kuku jari kaki yang terus tumbuh ke arah dalam.
Prosesinya diawali dengan merendam kaki si gadis di dalam darah binatang yang dicampur dengan ramuan herbal. Kemudian, kaki gadis tersebut diberi pijatan-pijatan untuk melemaskan otot-otot di kakinya. Dilanjutkan dengan menekuk jari-jari kaki si gadis ke bagian bawah. Dalam prakteknya, terdapat variasi dalam tahap ini. Beberapa suku di Cina mematahkan tulang jari kaki untuk dapat melipatnya dengan sempurna, sedangkan yang lainnya hanya melipat jari-jari kaki saja. Pada tahapan ini, si gadis akan merasakan kesakitan yang teramat sangat. Mereka menangis dan berteriak mendapatkan perlakuan tersebut. Setelah jari-jari kaki si gadis ditekuk, kemudian dilanjutkan dengan membebat kakinya dengan selendang panjang.
Bebatan pada kaki tersebut dibersihkan dan diperiksa sehari sekali untuk orang kaya dan seminggu dua atau tiga kali untuk orang miskin. Setiap hari, semakin kuat dan erat bebatan pada kaki-kaki gadis itu hingga mendapatkan ukuran yang sempurna sesuai sepatu yang telah disiapkan, yaitu berukuran sekitar 4 inci.
Dalam proses pembebatan kaki ini, kaki anak perempuan dilipat menyerupai bentuk lipatan-lipatan di dalam vagina. Masyarakat Cina percaya bahwa semakin kecil kaki wanita, semakin besar gairah seksualnya. Konon, lipatan-lipatan kaki yang menyerupai lipatan-lipatan di dalam vagina tersebut membuat hubungan seksual menjadi luar biasa nikmat dan bergairah.
Mula-mula tradisi wanita berkaki mungil ini hanya berlaku bagi kalangan bangsawan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu tradisi tersebut menyebar ke seluruh lapisan masyarakat Cina, dari kaum menengah hingga kaum petani. Bahkan bentuk kaki wanita yang mungil menjadi semacam trend kecantikan di Cina.
Dalam perjodohan, ukuran kaki seorang wanita juga menentukan jodoh yang akan dia peroleh. "Mak Comblang" sebagai perantara (orang kepercayaan ibu calon mempelai pria) akan meminta bāzi (八字), yaitu tanggal, bulan, tahun, dan jam kelahiran calon mempelai wanita serta ukuran kaki calon mempelai wanita untuk didata dan dicocokkan dengan bāzi calon mempelai pria. Kaki yang tidak dibebat dengan baik mencerminkan kemalasan dan sulit untuk mendapatkan jodoh. Oleh karena itu, para orang tua rela mengorbankan puterinya untuk menahan penderitaan dan rasa sakit yang teramat hebat untuk melakukan pembebatan kaki ini.
Ada tiga ukuran kaki yang diperkenankan dalam perjodohan di Cina pada masa itu. Kaki dengan ukuran panjang 7,5 sentimeter disebut "Teratai Emas". Ukuran kaki dengan panjang 10 sentimeter disebut "Teratai Perak", dan ukuran panjang yang lebih dari 10 sentimeter disebut "Teratai Besi". Dari ketiga patokan ukuran kaki wanita Cina yang dibebat, Teratai Emas merupakan panjang yang paling ideal.
Tradisi pembebatan kaki ini tentu saja tidak serta merta diperoleh dengan mudah. Bantuk kaki yang sempurna dengan ukuran ideal tersebut harus ditebus dengan penderitaan panjang yang dialami oleh wanita yang memilikinya. Sejak balita, anak perempuan dipaksa menerima rasa sakit yang luar biasa. Banyak di antara mereka yang terpaksa merangkak bahkan tidak mampu berjalan selama beberapa waktu karena menahan rasa sakit dan pedih di kakinya. Walaupun lama-kelamaan rasa sakit itu akan mulai hilang dan tak dirasakan lagi seiring bertambahnya usia sang gadis.
Sebagian besar gadis dengan kaki yang dibebat tidak dapat bergerak bebas seperti gadis yang kakinya tidak dibebat. Mereka tidak dapat berjalan dengan cepat, apalagi berlari. Bahkan untuk melakukan kegiatan sehari-hari mereka akan mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan dari para pelayan. Diskriminasi pun dialami oleh para wanita yang dibebat kakinya, karena mereka tidak dapat turut serta dalam kegiatan politik dan sosial. Mereka hanya dapat terkungkung di dalam rumah dengan otoritas tertinggi ada di tangan suami mereka.
Wanita bangsa Manchu tidak melakukan pembebatan kaki sebagaimana yang berkembang pada suku bangsa lain. Mereka menggunakan sepatu yang didesain memiliki hak yang tinggi di bagian alasnya yang terbuat dari kayu. Hal tersebut memungkinkan mereka dapat menyamai gaya berjalan wanita suku bangsa lainnya yang anggun dengan ukuran sepatu yang sesuai tanpa merasakan penderitaan seperti yang dialami oleh kaum wanita Cina dengan kaki dibebat dan ukuran sepatu yang terlampau kecil.
Pada tahun 1645, Kaisar Shunzhi melarang praktek pembebatan kaki ini. Namun, pada pemerintahan selanjutnya oleh Kaisar Kangxi pelarangan tersebut dicabut dan kembali merebak di masyarakat. Pemerintah Cina secara resmi melarang pembebatan kaki pada tahun 1911 melalui edukasi yang diberikan kepada wanita-wanita Cina pada masa itu. Hingga pada masa Republik, tradisi ini masih sering ditemukan pada masayarakat di daerah-daerah terpencil, seperti salah satunya Desa Liuyi di Provinsi Yunnan, sampai tahun 1930-an.