KEBUDAYAAN DAN MAKANAN KHAS PALEMBANG
Palembang memang dikenal sebagai ibukota propinsi Sumatera Selatan. Jika Palembang sudah ada sejak jaman Sriwijaya, maka tak mengherankan menjadi kota tua yang ada di Indonesia. Usia kota Palembang saat ini sudah mencapai 1330 tahun.
Sebagai kota tua di Indonesia, tentunya tidak sedikit sumbangsih Palembang terhadap kekayaan budaya dan kesenian. Berdasarkan peninggalan kerajaan Sriwijaya, Palembang memiliki kebudayaan yang sangat beragam mulai dari seni tari, pakaian, seni kerajinan dan kuliner.
Tari Gending Sriwijaya
Seni tari menjadi salah satu unsur kebudayaan yang menonjol dan selalu menarik perhatian orang. Salah satu tarian yang menjadi kekhasan wilayah ini adalah tari Gending Sriwijaya. Tari ini biasanya untuk menyambut tamu istimewa, misalnya saja kepala Negara, gubernur, pejabat dan lain sebagainya. Konon kabarnya tari Gending Sriwijaya sudah ada sejak zaman kerajaan Sriwijaya. Biasanya tarian ini dibawakan oleh sembilan penari wanita dengan pakaian adat aesan gede, paksangkong dodot, selendang mantra dan tanggai.
Karena ditujukan untuk menyambut tamu istimewa. Biasanya penari paling depan membawa tapak berisikan kapur-sirih. Tapak ini yang diberikan kepada tamu istimewa dan selanjutnya tamu istimewa tersebut mengambil sekapur sirih yang ada di dalamnya.
Garakan tarian Gending Sriwijaya sangat lambat, para penarinya membutuhkan latihan yang lebih intensif karena kebutuhan gerakan tersebut. Para penari yang baru pertama menarikan tarian ini badannya terasa sakit. Tarin ini dilaraskan dengan lagu berjudul sama dengan nama tarian ini. Lagunya itu bercerita tentang keagungan Kerajaan Sriwijaya.
Sedangkan tari Tanggai adalah tarian yang sama populernya dengan tari Gending Sriwijaya. Sebenarnya tari ini sedikit mirip dengan tari Gending Sriwijaya seperti gerakan dan pakaian yang digunakan.
Namun tari Tanggai biasanya digunakan untuk acara-acara penting seperti acara resepsi pernikahan, acara khitanan dan sebagainya. Penarinya juga biasanya hanya 3 sampai 5 orang saja. Selain itu, hal lain yang membedakannya adalah musik yang mengiringi tarian ini. Musik untuk mengiringi tari Tanggai biasanya hanya berupa iringan instrumen musik saja tanpa adanya lagu yang dibawakan.
Kain Songket
Seperti kebanyakan kain-kain bermutu tinggi di tanah Sumatera, Palembang juga memiliki kain tenun songket. Biasanya kain songket ini terbuat dari benang emas. Kain Songket ini dipakai untuk pakaian bawah pada wanita. Pada jaman sekarang kebanyakan kain Songket hanya digunakan untuk acara-acara tertentu seperti acara pesta pernikahan dan sebagainya. Karena pakaian adat ini yang harganya sangat mahal dan berbahan dasar emas. Tak jarang banyak menjadi incaran pencuri karena nilai ekonominya yang tinggi.
Selain kain Songket masih yang menjadi pakaian adat, yakni aesan gede, paksangkong dodot, selendang mantra dan tanggai. Pakaian ini biasanya dikenakan oleh penari-penari tradisional untuk tarian seperti gending Sriwijaya ataupun tari tanggai. Pengantin di Palembang biasanya juga mengenakan pakaian adat ini.
Pada zaman dahulu, pakaian adat ini hanya dikenakan oleh raja-raja atau pejabat tinggi saja. Tentu saja pakaian adat ini menggambarkan kejayaan Kerajaan Sriwijaya pada zaman dahulu. Hal ini terlihat dari bahan pembuat pakaian ini yang terbuat dari benang emas. Maka tak heran untuk saat ini harga pakaian adat Palembang bisa mencapai jutaan rupiah. Selain bahan dasarnya yang berasal dari emas, motifnya juga sangat beragam.
Kayu Tembesu
Seni kerajinan yang terkenal di Palembang dan merupakan warisan budaya adalah seni ukiran. Biasanya kayu yang digunakan adalah kayu tembesu yang memiliki kualitas yang baik. Seni ukiran ini dipengaruhi oleh kebudayaan Budha dan China. Tentunya warna yang diambil tidaklah melenceng jauh, yakni emas dan merah. Terutama warna emas yang merupakan warna khas dari seni ukir ini.
Ukiran yang ada biasanya menggambarkan bunga. Makna yang terkandung di dalamnya adalah rasa cinta dan kasih. Termasuk pula keharuman bunga yang menyegarkan. Lambang ini juga sangat jauh dari makna kekerasan.
Nasi Minyak
Selain dipengaruhi unsur kebudayaan China dan Melayu, Palembang juga dipengaruhi dengan budaya India. Nasi minyak dan martabak telur dapat bersanding dengan pempek. Nasi minyak ini merupakan nasi yang dimasak dengan minyak samin dan biasanya dihidangkan untuk acara-acara resmi seperti pernikahan dan sebagainya. Nasi minyak ini sendiri merupakan makanan asli orang India.
Hal ini juga berlaku untuk martabak telur yang terbuat dari telur ayam atau telur bebek yang menjadi isi dan kemudian digoreng. Martabak telur ini selanjutnya dimakan dengan kuah kari dan merupakan makanan asli India juga.
PEMPEK/ PE EMPEK
ASAL MULA SEJARAH PEMPEK PALEMBANG
Pempek Palembang sesuai dengan namanya merupakan makanan khas Sumatera
Selatan (palembang) yang terbuat dari bahan dasar ikan dan sagu. Penyajian pempek
palembang selalu ditemani dengan semangkuk kuah pedas dan menggigit berwarna coklat
kehitaman yang disebut dengan cuko / cuka.
Menurut sejarahnya, pempek telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Cina
ke Palembang, yaitu di sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badaruddin II berkuasa di
kesultanan Palembang Darussalam. Nama empek-empek atau pempek diyakini berasal dari
sebutan “apek”, yaitu sebutan untuk lelaki tua keturunan Cina.
Berdasar cerita rakyat, sekitar tahun 1617 seorang apek berusia 65 tahun yang tinggal
di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang
berlimpah di Sungai Musi. Hasil tangkapan itu belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik,
hanya sebatas digoreng dan dipindang. Si apek kemudian mencoba alternatif pengolahan lain.
Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru.
Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Oleh karena
penjualnya berkeliling dengan sepeda dan pembelinya sering mengejarnya dengan terburu-
buru, maka dengan spontan para pelangganya sering memanggilnya dengan sebutan “pek”
“sipek” “apek” (apek dalam bahasa tionghua berarti paman) , dan sering kali diucapkan
berulang menjadi “pek pek” maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai pempek
palembang atau empek-empek palembang.
Menurut cerita lagi dahulu warga etnik tionghua mencari penghidupan di Palembang
dengan cara berdagang, dan dalam upacara adat tertentu mereka menyajikan makanan dengan
bahan dasar ikan dan tepung tapioka (sagu) untuk keperluan adat. Baru kemudian pada tahun
1916, makanan itu dijual oleh seorang keturunan Indonesia bernama Sipek"Orang China yang sudah tua kan sering dipanggil 'apek'. Pembeli yang membeli kelesan dari orang China ini terbiasa memanggil pedagangnya dengan sebutan 'pek-pek-pek', yang akhirnya kelesan dikenal dengan nama pempek," jelasnya.